Rabu, 14 September 2016

PERKEMBANGAN AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH

PERKEMBANGAN AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH

Saat ini, masyarakat yang kebanyakan beragama Islam mulai resah dengan praktik keuangan secara konventional. Sering terjadi ketidaksamaan dalam pencatatan dan pembukuan keuangan untuk kepentingan individu maupun kelompok. Oleh sebab itu, usaha sebagian umat muslimin dalam membantu penegakkan syariat Islam dalam segala kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi terus digencarkan. Orasi oleh institusi keuangan bernuansakan Islam terus dilakukan di negeri Indonesia ini, bahkan di negara-negara lain di dunia.

Agama Islam telah membawa pengaruh positif terhadap perkembangan akuntansi yang perlu dikembangkan dan diaplikasikan oleh umat muslim dalam kehidupan sehari-hari terkait hal pencatatan bukti transaksi yang bersifat tidak tunai dan kewajiban untuk membayar zakat. Hal ini sesuai dengan praktik akuntansi pada masa Nabi SAW sesuai perintah Allah dalam Al Qur’an untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai (QS 2:282) dan membayar zakat (QS 2:43, 110;  9:103, 71; 22:78; 58:13) (Yaya, Rizal dkk, 2014:2).
           
Kewajiban membayar zakat berdampak pada didirikannya lembaga Baitulmal oleh Nabi SAW yang berfungsi sebagai institusi penyimpan zakat beserta pendapatan lain yang diterima oleh negara. Pada masa tersebut, pendistribusian harta kekayaan dilakukan setelah harta diperoleh, sehingga tidak perlu adanya pelaporan atas pemasukan dan pengeluaran dari Baitulmal. Hal serupa berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu Bakar as Sidik (Yaya, Rizal dkk, 2014:3).

Berbeda dengan masa Oemar bin Khotob yang mampu mendirikan unit khusus bernama Diiwan dengan alasan kas negara yang meningkat secara signifikan sehingga perlu adanya pembuatan laporan keuangan sebagai bentuk tanggung jawabnya (Zaid, 2001, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:3). Selanjutnya, laporan keuangan pemeritah dikembangkan oleh Khalifah Oemar bin Abdul ‘Aziz (681-720 M) berupa praktik pengeluaran bukti pemasukan uang. Kemudian Kholifah Al Walied bin Abdaul Maalik (705-715 M) mengenalkan catatan yang terjilid dan tak terpisah-pisah seperti sebelumnya (Lasyin, 1973, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:3).

Pada masa Daulah Abbasiah, perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi. Pengklasifikasian akuntansi antara lain peternakan, perkebunan, kebendaharaan, dan lainnya (Zaid, 2001 dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:3). Buku besar yang digunakan dalam sistem pembukuan antara lain:
1.      Jariddah al-Khoroj
2.      Jariddah an-Nafaqot
3.      Jariddah al-Maal,
4.      Jariddah al-Musadariin (Lasyin, 1973, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:3).

Bentuk-bentuk laporan akuntansi telah dikembangkan untuk sistem pelaporan yaitu
1.      Al-Khitmaah (Bin Jafar, 1981, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:4).
2.      Al-Khitmaah al-Jam’iyah (Lasyin, 1973, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:4).

Berbagai penghampiran dalam mengembangkan Akuntansi Syariah, antara lain:
1.      Penghampiran yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan memelihara kekayaan lembaga (AAOIFI, 2003).
2.      Penghampiran yang bertujuan untuk pemenuhan kewajiban zakat (Triyuwono, 2000, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:6).

3.      Penghampiran untuk mewujudkan pertanggung jawaban Isla (Hameed, 2000, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:6).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar