PERKEMBANGAN
AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH
Saat ini, masyarakat yang kebanyakan beragama Islam mulai
resah dengan praktik keuangan secara konventional. Sering terjadi ketidaksamaan
dalam pencatatan dan pembukuan keuangan untuk kepentingan individu maupun
kelompok. Oleh sebab itu, usaha sebagian umat muslimin dalam membantu
penegakkan syariat Islam dalam segala kehidupan, khususnya dalam bidang ekonomi
terus digencarkan. Orasi oleh institusi keuangan bernuansakan Islam terus
dilakukan di negeri Indonesia ini, bahkan di negara-negara lain di dunia.
Agama Islam telah
membawa pengaruh positif terhadap perkembangan akuntansi yang perlu
dikembangkan dan diaplikasikan oleh umat muslim dalam kehidupan sehari-hari terkait
hal pencatatan bukti transaksi yang bersifat tidak tunai dan kewajiban untuk
membayar zakat. Hal ini sesuai dengan praktik akuntansi pada masa Nabi SAW sesuai
perintah Allah dalam Al Qur’an untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak
tunai (QS 2:282) dan membayar zakat (QS 2:43, 110; 9:103, 71; 22:78; 58:13) (Yaya, Rizal dkk,
2014:2).
Kewajiban
membayar zakat berdampak pada didirikannya lembaga Baitulmal oleh Nabi SAW yang
berfungsi sebagai institusi penyimpan zakat beserta pendapatan lain yang
diterima oleh negara. Pada masa tersebut, pendistribusian harta kekayaan dilakukan
setelah harta diperoleh, sehingga tidak perlu adanya pelaporan atas pemasukan
dan pengeluaran dari Baitulmal. Hal serupa berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu
Bakar as Sidik (Yaya, Rizal dkk, 2014:3).
Berbeda dengan masa
Oemar bin Khotob yang mampu mendirikan unit khusus bernama Diiwan dengan alasan
kas negara yang meningkat secara signifikan sehingga perlu adanya pembuatan laporan
keuangan sebagai bentuk tanggung jawabnya (Zaid, 2001, dalam Yaya, Rizal dkk,
2014:3). Selanjutnya, laporan keuangan pemeritah dikembangkan oleh Khalifah Oemar
bin Abdul ‘Aziz (681-720 M) berupa praktik pengeluaran bukti pemasukan uang.
Kemudian Kholifah Al Walied bin Abdaul Maalik (705-715 M) mengenalkan catatan
yang terjilid dan tak terpisah-pisah seperti sebelumnya (Lasyin, 1973, dalam Yaya,
Rizal dkk, 2014:3).
Pada masa Daulah
Abbasiah, perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi. Pengklasifikasian
akuntansi antara lain peternakan, perkebunan, kebendaharaan, dan lainnya (Zaid,
2001 dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:3). Buku besar yang
digunakan dalam sistem pembukuan antara lain:
1.
Jariddah al-Khoroj
2.
Jariddah an-Nafaqot
3.
Jariddah al-Maal,
4.
Jariddah al-Musadariin
(Lasyin, 1973, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:3).
Bentuk-bentuk laporan
akuntansi telah dikembangkan untuk sistem pelaporan yaitu
1. Al-Khitmaah (Bin Jafar, 1981, dalam Yaya, Rizal
dkk, 2014:4).
2. Al-Khitmaah al-Jam’iyah (Lasyin, 1973, dalam Yaya, Rizal
dkk, 2014:4).
Berbagai penghampiran
dalam mengembangkan Akuntansi Syariah, antara lain:
1. Penghampiran yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan memelihara
kekayaan lembaga (AAOIFI, 2003).
2. Penghampiran yang bertujuan untuk pemenuhan kewajiban zakat (Triyuwono,
2000, dalam Yaya, Rizal dkk, 2014:6).
3. Penghampiran untuk mewujudkan pertanggung jawaban Isla (Hameed, 2000, dalam
Yaya, Rizal dkk, 2014:6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar