BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebuah
keluarga akan terbentuk setelah adanya ikatan perkawinan. Adapun perkawinan
menurut pasal 26 Burgerlijk Wetboek ialah pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Namun secara umum perkawinan dipahami suatu ikatan
lahir batin antara seorang lelaki dan perempuan yang bertujuan membangun sebuah
keluarga yang harmonis, bahagia, dan mendapatkan keturunan.
Dalam
sebuah keluarga, suami istri harus setia satu sama lain, bantu – membantu,
tinggal bersama, saling melengkapi, sebagai suami harus memberi nafkah kepada
anak dan istri, serta mendidik anak bersama – sama.
Dengan
terbentuknya sebuah keluarga yang berawal dari perkawinan, maka secara otomatis
melahirkan sebuah hukum didalamnya, dimana hukum tersebut mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan individu satu dengan individu yang lainnya,
dalam hal ini yaitu subjek hukum perkawinan dan hukum keluarga.
Hukum keluarga diatur dalam KUH Perdata Buku I BAB 4 - 18. Selain
itu juga diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( sebagai hukum
khusus dari KUH Perdata )
Hukum
keluarga sangat penting untuk dipelajari, karena secara kodrat setiap individu
dilahirkan untuk meneruskan keturunan dengan cara membina sebuah keluarga
melalui proses perkawinan yang sah, baik secara hukum negara maupun hukum
agama.
Dengan
adanya hukum yang mengatur tentang perkawinan maupun keluarga, diharapkan
tercipta suatu kondisi yang saling menguntungkan antara individu satu dengan
yang lain, ada hukum yang sah yang melindungi setiap warga negara sehingga
mengurangi dampak kecurangan hukum oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung
jawab, serta sebagai acuan dalam hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan
maupun keluarga.
B.
Rumusan
Masalah
Sejalan
dengan latar belakang di atas, agar bahasan makalah ini tidak melebar ke mana –
mana, penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan, antara lain sebagai
berikut :
1.
Apakah
pengertian hukum perkawinan dan hukum keluarga ?
2.
Apa saja syarat
sahnya suatu perkawinan ?
3.
Apa tujuan
adanya suatu perjanjian dalam perkawinan?
4.
Apa sebab dan
akibat dari putusnya suatu perkawinan ?
5.
Apa saja sumber hukum keluarga ?
6.
Apa sajakah asas – asas dalam hukum keluarga ?
7.
Apakah hak dan kewajiban dalam hukum keluarga ?
8.
Apakah kaitan
antara hukum perkawinan dengan hukum keluarga ?
C.
Tujuan
Penulisan
Sejalan
dengan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Mengetahui
pengertian hukum perkawinan dan hukum keluarga
2.
Mengetahui
syarat sahnya suatu perkawinan
3.
Mengetahui
tujuan adanya perjanjian dalam perkawinan
4.
Mengetahui sebab
dan akibat dari putusnya suatu perkawinan
5.
Mengetahui
sumber hukum keluarga
6.
Mengetahui asas
– asas dalam hukum keluarga
7.
Mengetahui hak
dan kewajiban dalam hukum keluarga
8.
Mengetahui
kaitan antara hukum perkawinan dan hukum keluarga
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERKAWINAN
1. Pengertian
Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor
1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan
formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi
orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini dapat terwujud adanya upacara
perkawinan.
Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian
jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang
pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin merupakan
dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Selanjutnya, dalam pengertian perkawinan itu juga
dinyatakan bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada
agama dan kepercayaan masing-masing sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.
2. Syarat – syarat Sahnya
Perkawinan
Syarat –
syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU
Nomor 1 Tahun 1974 yang meliputi syarat intern dan syarat ekstern. Syarat
intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan.
Syarat-syarat
intern meliputi:
1)
Persetujuan kedua belah pihak
2)
Izin dari kedua orang tua apabila
belum mencapai umur 21 tahun
3)
Pria berumur 19 tahun dan wanita 16
tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau
bupati
4)
Kedua belah pihak tidak dalam
keadaan kawin
5)
Wanita yang kawin untuk kedua
kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya
karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari
Syarat
ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas – formalitas dalam
pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi:
1)
Harus mengajukan laporan ke Pegawai
Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk ( Pencatatan Sipil )
2)
Pengumuman, yang ditandatangani oleh
Pegawai Pencatat, yang memuat:
a. Nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang
tua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu
b.
Hari, tanggal, jam, dan tempat
perkawinan dilangsungkan
3. Perjanjian
Perkawinan
Perjanjian perkawinan
diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai dengan pasal 154
KUH Perdata. Perjanjian kawin harus dibuatkan akta notaris
sebelum pernikahan berlangsung, tujuannya yaitu :
a.
Keabsahan perkawinan
b.
Untuk mencegah pembuatan yang
tergesa – gesa, karena akibat dari perjanjian perkawinan itu untuk seumur hidup
c.
Demi kepastian hukum
d.
Alat bukti yang sah
e.
Mencegah adanya penyelundupan hukum,
dan akan menjadi batal bila tidak dibuat
secara demikian. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
4. Putusnya
Perkawinan serta Akibatnya
Putusnya
perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami
– istri yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian, dan
atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya
perkawinan dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
1)
Kematian salah satu pihak
2)
Tidak hadirnya suami-istri selama 10
tahun dan diikuti perkawinan baru ( Pasal 493 KUH Perdata )
3)
Adanya putusan hakim ( Pasal 200 KUH
Perdata )
4)
Perceraian ( Pasal 209 KUH Perdata )
Perceraian
adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu. Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian
perkawinan sebagai berikut ( Pasal 209 KUH Perdata ) :
1)
Zina
2)
Meninggalkan
tempat tinggal bersama dengan itikad buruk
3)
Dikenakan
hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah
dilangsungkan perkawinan
4)
Pencederaan
berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dan suami isteri itu
terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau
mendatangkan luka-luka yang berbahaya
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian :
a.
Hubungan Suami Istri
§ Suami terhadap istri (biaya hidup dan lainnya à pasal 41 UUP No.1 Tahun 1974): mut’ah,nafkah,
maskan & kiswah selama iddah, mahar yang terutang,nafkah iddah kecuali
istri nusyuz, nafkah lampau yang terutang
§ Istri terhadap suami: tidak menerima pinangan pria lain selama masa iddah
b.
Harta Benda Perkawinan
§ Harta pribadi : suami – istri tetap dikuasai masing – masing
§ Harta bersama : suami – istri dibagi masing – masing separuh
c.
Hubungan Orang Tua dengan Anak
§ Hubungan seperti tidak
terjadi perceraian
§ KHI: Anak yg belum atau sudah
mumayiz/ baligh
§ Yang berhak atas hadhanah
§ Yang wajib atas biaya hadhanah dan nafkah
§ Kalau ada perselisihan hal diatas
dengan keputusan pengadilan
d.
Terhadap Pihak Ketiga
§ Hutang setelah cerai: menjadi hutang pribadi yang berhutang
§ Hutang sebelum cerai: hutang pribadi tanggung jawab pribadi dan hutang bersama tanggung jawab bersama
B.
KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Istilah keluarga
mempunyai dua arti yaitu arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit keluarga
adalah gezin (bahasa Belanda)/ nuclear family (bahasa Inggris) yaitu
kesatuan kemasyarakatan terkecil yang organisasinya didasarkan pada perkawinan
dengan anggota inti seorang laki – laki sebagai ayah dan seorang perempuan
sebagai ibu dan idealnya adalah ditambah anak –anak. Adapun keluarga dalam arti
luas adalah kerabat (familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan dalam hukum
adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu
dan pihak beserta keturunannya.
Kekeluargaan
sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orang – orang di mana yang seorang
adalah keturunan dan yang lain, atau antara orang – orang yang mempunyai bapak
asal yang sama (pasal 290 KUH Perdata). Sedangkan Kekeluargaan semenda adalah
satu pertalian kekeluargaan karena perkawinan (pasal 295 KUH Perdata).
2. Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis (sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan
perundang – undangan, yurisprudensi, dan traktat) dan tidak
tertulis (sumber hukum yang
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat/ hukum adat).
Sumber hukum keluarga tertulis, antara lain :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata)
2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk), Stb.1898 Nomor 158
3) Ordonasi perkawinan Indonesia,
Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74
4) UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam)
5) UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan
6) PP Nomor 9
tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
7) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil
Sedangkan
sumber hukum keluarga tidak tertulis yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya
berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja.
3. Asas – Asas Hukum Keluarga
Berdasarkan
analisa yang merujuk kepada KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, ada beberapa asas yang berlaku dalam hukum keluarga, yaitu sebagai
berikut:
1) Asas
Monogami ( pasal 27 KUH
Perdata, pasal 3 UUP )
Artinya
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang istri hanya boleh
mempunyai seorang suami.
2) Asas
Konsensual ( pasal 28 KUH Perdata, pasal 6 UUP )
Artinya
perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau konsensus
antara calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan.
3) Asas
Persatuan Bulat ( pasal 119 KUH Perdata )
Artinya
suatu asas dimana antara suami – istri terjadi persatuan harta benda yang
dimilikinya.
4) Asas
Proporsional ( pasal 31 UUP )
Artinya hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam
kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.
5) Asas tak
dapat dibagi – bagi ( pasal 311 KUH Perdata )
Artinya
suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang
wali. Dalam keberlakuan asas ini ada dua pengecualian, yaitu sebagai berikut:
a.
Jika perwalian itu dilakukan oleh
ibu sebagai orang tua yang hidup lebih lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya
menjadi wali serta/ wali peserta.
b.
Jika sampai ditunjuk pelaksana
pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar
Indonesia.
6) Asas prinsip
calon suami istri harus telah matang jiwa raganya ( pasal 7 UUP ).
7) Asas
Monogami Terbuka/ Poligami Terbatas
Artinya
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan
setelah mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhinya syarat – syarat yang
ketat.
8) Asas
Perkawinan Agama ( pasal 31 UUP )
Artinya
suatu perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan
kepercayaannya masing – masing.
9) Asas
Perkawinan Sipil
Artinya
perkawinan sah apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil ( kantor
catatan sipil ), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu
perkawinan.
4. Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga
Adapun perkawinan itu adalah suatu hubungan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan istri.
Hak dan kewajiban dalam hukum
keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.
Hak dan kewajiban antara suami – istri
b.
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya
1. Hak dan kewajiban antara suami - istri ( UU No. 1 Tahun
1974 )
§ Suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
§ Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum. (Pasal 31 ayat 2)
§ Suami adalah
kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (Pasal 31 ayat 3)
§ Suami istri
wajib saling mencintai , hormat – menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu dengan yang lain ( pasal 33 )
§ Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya ( pasal 34 ayat 1 )
§ Istri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya ( pasal 31 ayat 2 )
2. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak ( pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 )
§ Orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
§ Anak wajib menghormati orang tua
dan menaati kehendak mereka yang baik.
§ Anak wajib memelihara dan
membantu orang tuanya, manakala sudah tua.
§ Anak yang belum dewasa, belum
pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua ( pasal 47 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ), orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum dan belum pernah kawin
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
§ Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya.
C.
HUBUNGAN
ANTARA HUKUM PERKAWINAN DAN KELUARGA
1.
Suatu keluarga
terbentuk karena adanya perkawinan, dan perkawinan itu harus sah secara hukum
negara dan sah secara agama.
2.
Dalam hukum
perkawinan, mengenai seorang anak yang dinikahkan, harus ada izin dari keluarga
terutama kedua orang tua masing – masing pihak mempelai, karena hal tersebut
termasuk syarat sahnya sebuah perkawinan.
3.
Dalam hukum
perkawinan pula, disebutkan bahwa setelah menikah seorang suami – istri
memiliki hak dan kewajiban didalam berkeluarga.
4.
Mengenai masalah
anak, harta, hingga perceraian, sudah diatur didalam hukum perkawinan maupun
hukum keluarga, sehingga hukum tersebut menjadi acuan dalam memutuskan segala
urusan yang berkaitan dengan hal tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, ada beberapa
intisari yang dapat ditarik dari materi makalah ini, adapun sebagai berikut
:
Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keluarga
dalam arti luas adalah kerabat (familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan
dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara
dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya.
Dalam
hukum perkawinan dan keluarga saling berhubungan satu sama lain, karena pada
dasarnya suatu keluarga terbentuk setelah adanya perkawinan yang sah, baik
secara hukum negara maupun hukum agama, sehingga dapat dijadikan acuan atau
undang – undang yang memberi kepastian hukum mengenai hal tersebut.
B.
Saran
Makalah
ini berisi materi dari kajian pustaka yang bertujuan untuk menambah wawasan dan
sebagai acuan dalam pembelajaran. Namun, makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan
makalah – makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Subekti, Prof.
S.H. 1989. Pokok-pokok HUKUM PERDATA,
Jakarta : PT Intermasa.
2. Undang
– Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3.
Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek voor Indonesie )
4.
Makalah Hukum
Keluarga _ resteamcomunity.html
5. Nurmalia
Andriani Hukum Keluarga Menurut BW atau KUHPerdata.html
6. Juragan
Makalah Makalah Hukum Perdata Hukum Perkawinan.html
7.
Power Point HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN 2 SKS Oleh Trusto Subekti, SH, M.Hum., Hj. Siti Muflichah, SH, MH., dan Rochati, SH, M.Hum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar