Sabtu, 02 April 2016

HUKUM PERKAWINAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebuah keluarga akan terbentuk setelah adanya ikatan perkawinan. Adapun perkawinan menurut pasal 26 Burgerlijk Wetboek ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.  Namun secara umum perkawinan dipahami suatu ikatan lahir batin antara seorang lelaki dan perempuan yang bertujuan membangun sebuah keluarga yang harmonis, bahagia, dan mendapatkan keturunan.
Dalam sebuah keluarga, suami istri harus setia satu sama lain, bantu – membantu, tinggal bersama, saling melengkapi, sebagai suami harus memberi nafkah kepada anak dan istri, serta mendidik anak bersama – sama.
Dengan terbentuknya sebuah keluarga yang berawal dari perkawinan, maka secara otomatis melahirkan sebuah hukum didalamnya, dimana hukum tersebut mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan individu satu dengan individu yang lainnya, dalam hal ini yaitu subjek hukum perkawinan dan hukum keluarga.
Hukum keluarga diatur dalam KUH Perdata Buku I BAB 4 - 18. Selain itu juga diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( sebagai hukum khusus dari KUH Perdata )
Hukum keluarga sangat penting untuk dipelajari, karena secara kodrat setiap individu dilahirkan untuk meneruskan keturunan dengan cara membina sebuah keluarga melalui proses perkawinan yang sah, baik secara hukum negara maupun hukum agama.
Dengan adanya hukum yang mengatur tentang perkawinan maupun keluarga, diharapkan tercipta suatu kondisi yang saling menguntungkan antara individu satu dengan yang lain, ada hukum yang sah yang melindungi setiap warga negara sehingga mengurangi dampak kecurangan hukum oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab, serta sebagai acuan dalam hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan maupun keluarga.
B.     Rumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang di atas, agar bahasan makalah ini tidak melebar ke mana – mana, penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan, antara lain sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian hukum perkawinan dan hukum keluarga ?
2.      Apa saja syarat sahnya suatu perkawinan ?
3.      Apa tujuan adanya suatu perjanjian dalam perkawinan?
4.      Apa sebab dan akibat dari putusnya suatu perkawinan ?
5.      Apa saja sumber hukum keluarga ?
6.      Apa sajakah asas – asas dalam hukum keluarga ?
7.      Apakah hak dan kewajiban dalam hukum keluarga ?
8.      Apakah kaitan antara hukum perkawinan dengan hukum keluarga ?

C.    Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian hukum perkawinan dan hukum keluarga
2.      Mengetahui syarat sahnya suatu perkawinan
3.      Mengetahui tujuan adanya perjanjian dalam perkawinan
4.      Mengetahui sebab dan akibat dari putusnya suatu perkawinan
5.      Mengetahui sumber hukum keluarga
6.      Mengetahui asas – asas dalam hukum keluarga
7.      Mengetahui hak dan kewajiban dalam hukum keluarga
8.      Mengetahui kaitan antara hukum perkawinan dan hukum keluarga




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERKAWINAN

1.      Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini dapat terwujud adanya upacara perkawinan.
Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Selanjutnya, dalam pengertian perkawinan itu juga dinyatakan bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.

2.      Syarat – syarat Sahnya Perkawinan
Syarat – syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang meliputi syarat intern dan syarat ekstern. Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan.

Syarat-syarat intern meliputi: 
1)      Persetujuan kedua belah pihak
2)      Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun
3)      Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati
4)      Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin
5)      Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari

Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas – formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi:
1)      Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk ( Pencatatan Sipil )
2)      Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:
a.    Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu
b.    Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan

3.      Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian kawin harus dibuatkan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, tujuannya yaitu :
a.       Keabsahan perkawinan
b.      Untuk mencegah pembuatan yang tergesa – gesa, karena akibat dari perjanjian perkawinan itu untuk seumur hidup
c.       Demi kepastian hukum
d.      Alat bukti yang sah
e.       Mencegah adanya penyelundupan hukum,
dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

4.      Putusnya Perkawinan serta Akibatnya
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami – istri yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat macam, yaitu : 
1)      Kematian salah satu pihak
2)      Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru ( Pasal 493 KUH Perdata )
3)      Adanya putusan hakim ( Pasal 200 KUH Perdata )
4)      Perceraian ( Pasal 209 KUH Perdata )
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian perkawinan sebagai berikut ( Pasal 209 KUH Perdata ) :
1)      Zina
2)      Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk
3)      Dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan
4)      Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dan suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian :
a.       Hubungan Suami Istri
§  Suami terhadap istri (biaya hidup dan lainnya à pasal 41 UUP No.1 Tahun 1974): mut’ah,nafkah, maskan & kiswah selama iddah, mahar yang terutang,nafkah iddah kecuali istri nusyuz, nafkah lampau yang terutang
§  Istri terhadap suami: tidak menerima pinangan pria lain selama masa iddah
b.      Harta Benda Perkawinan
§  Harta pribadi : suamiistri tetap dikuasai masingmasing
§  Harta bersama : suami istri dibagi masing masing separuh
c.       Hubungan Orang Tua dengan Anak
§  Hubungan seperti tidak terjadi perceraian
§  KHI: Anak yg belum atau sudah mumayiz/ baligh
§  Yang berhak atas hadhanah
§  Yang wajib atas biaya hadhanah dan nafkah
§  Kalau ada perselisihan hal diatas dengan keputusan pengadilan
d.      Terhadap Pihak Ketiga
§  Hutang setelah cerai: menjadi hutang pribadi yang berhutang
§  Hutang sebelum cerai: hutang pribadi tanggung jawab pribadi dan hutang bersama tanggung jawab bersama




B.     KELUARGA

1.      Pengertian Keluarga
Istilah keluarga mempunyai dua arti yaitu arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit keluarga adalah gezin (bahasa Belanda)/ nuclear family (bahasa Inggris) yaitu kesatuan kemasyarakatan terkecil yang organisasinya didasarkan pada perkawinan dengan anggota inti seorang laki – laki sebagai ayah dan seorang perempuan sebagai ibu dan idealnya adalah ditambah anak –anak. Adapun keluarga dalam arti luas adalah kerabat (familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orang – orang di mana yang seorang adalah keturunan dan yang lain, atau antara orang – orang yang mempunyai bapak asal yang sama (pasal 290 KUH Perdata). Sedangkan Kekeluargaan semenda adalah satu pertalian kekeluargaan karena perkawinan (pasal 295 KUH Perdata).

2.      Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis (sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang undangan, yurisprudensi, dan traktat) dan tidak tertulis (sumber hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat/ hukum adat).
Sumber hukum keluarga tertulis, antara lain :
1)      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2)      Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdehuwelijk), Stb.1898 Nomor 158
3)      Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74
4)      UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam)
5)      UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
6)      PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7)      PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Sedangkan sumber hukum keluarga tidak tertulis yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja.

3.      Asas – Asas Hukum Keluarga
Berdasarkan analisa yang merujuk kepada KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, ada beberapa asas yang berlaku dalam hukum keluarga, yaitu sebagai berikut:
1)      Asas Monogami ( pasal 27 KUH Perdata, pasal 3 UUP )
Artinya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
2)      Asas Konsensual ( pasal 28 KUH Perdata, pasal 6 UUP )
Artinya perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau konsensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan.
3)      Asas Persatuan Bulat ( pasal 119 KUH Perdata )
Artinya suatu asas dimana antara suami – istri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya.
4)      Asas Proporsional ( pasal 31 UUP )
Artinya hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.
5)      Asas tak dapat dibagi – bagi ( pasal 311 KUH Perdata )
Artinya suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang wali. Dalam keberlakuan asas ini ada dua pengecualian, yaitu sebagai berikut:
a.       Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup lebih lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/ wali peserta.
b.      Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah umur di luar Indonesia.
6)      Asas prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa raganya ( pasal 7 UUP ).
7)      Asas Monogami Terbuka/ Poligami Terbatas
Artinya seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan setelah mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhinya syarat – syarat yang ketat.
8)      Asas Perkawinan Agama ( pasal 31 UUP )
Artinya suatu perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masing – masing.
9)      Asas Perkawinan Sipil
Artinya perkawinan sah apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil ( kantor catatan sipil ), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.

4.      Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga
Adapun perkawinan itu adalah suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Hak dan kewajiban antara suami – istri
b.      Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya

1.      Hak dan kewajiban antara suami - istri ( UU No. 1 Tahun 1974 )
§  Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
§  Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (Pasal 31 ayat 2)
§  Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (Pasal 31 ayat 3)
§  Suami istri wajib saling mencintai , hormat – menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain ( pasal 33 )
§  Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya ( pasal 34 ayat 1 )
§  Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya ( pasal 31 ayat 2 )

2.      Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak ( pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 )
§  Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
§  Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
§  Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua.
§  Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua ( pasal 47 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ), orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
§  Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang barang tetap yang dimiliki anaknya  yang belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya.



C.    HUBUNGAN ANTARA HUKUM PERKAWINAN DAN KELUARGA

1.      Suatu keluarga terbentuk karena adanya perkawinan, dan perkawinan itu harus sah secara hukum negara dan sah secara agama.
2.      Dalam hukum perkawinan, mengenai seorang anak yang dinikahkan, harus ada izin dari keluarga terutama kedua orang tua masing – masing pihak mempelai, karena hal tersebut termasuk syarat sahnya sebuah perkawinan.
3.      Dalam hukum perkawinan pula, disebutkan bahwa setelah menikah seorang suami – istri memiliki hak dan kewajiban didalam berkeluarga.
4.      Mengenai masalah anak, harta, hingga perceraian, sudah diatur didalam hukum perkawinan maupun hukum keluarga, sehingga hukum tersebut menjadi acuan dalam memutuskan segala urusan yang berkaitan dengan hal tersebut.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, ada beberapa intisari yang dapat ditarik dari materi makalah ini, adapun sebagai berikut :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keluarga dalam arti luas adalah kerabat (familie) yaitu kesatuan kemasyarakatan dalam hukum adat yang anggotanya terdiri atas keluarga inti ditambah saudara dari pihak ibu dan pihak beserta keturunannya.
Dalam hukum perkawinan dan keluarga saling berhubungan satu sama lain, karena pada dasarnya suatu keluarga terbentuk setelah adanya perkawinan yang sah, baik secara hukum negara maupun hukum agama, sehingga dapat dijadikan acuan atau undang – undang yang memberi kepastian hukum mengenai hal tersebut.

B.     Saran
Makalah ini berisi materi dari kajian pustaka yang bertujuan untuk menambah wawasan dan sebagai acuan dalam pembelajaran. Namun, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah – makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Subekti, Prof. S.H. 1989. Pokok-pokok HUKUM PERDATA, Jakarta : PT Intermasa.
2.      Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3.      Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek voor Indonesie )
4.      Makalah Hukum Keluarga _ resteamcomunity.html
5.      Nurmalia Andriani Hukum Keluarga Menurut BW atau KUHPerdata.html
6.      Juragan Makalah Makalah Hukum Perdata Hukum Perkawinan.html

7.      Power Point HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN 2 SKS Oleh Trusto Subekti, SH, M.Hum., Hj. Siti Muflichah, SH, MH., dan Rochati, SH, M.Hum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar